Thursday, June 14, 2012

Kelulusan SMA/SMK/MA Tulungagung Capai 99,99 Persen (2012)

Tulungagung - Tingkat kelulusan siswa SMA/SMK/MA di Kabupaten Tulungagung tahun ini mencapai 99,99 persen.

Akumulasi hasil rekapitulasi tingkat kelulusan di seluruh lembaga pendidikan tingkat SLTA tersebut, disampaikan Kepala Bidang Pendidikan Menengah pada Dinas Pendidikan Tulungagung, Marjadji, Kamis.

"Secara keseluruhan tingkat kelulusan tahun ini boleh dibilang hampir 100 persen," kata Marjadji dengan nada bangga.

Sebagaimana data peserta ujian nasional (UN) tahun ajaran 2010-2011 tercatat sebanyak 8.592 siswa. Rinciannya, peserta UN SMA sebanyak 3.728 siswa, SMK sebanyak 3.760 siswa, dan MA sebanyak 1.104 siswa.

Dari jumlah tersebut, siswa yang akhirnya dinyatakan tidak lulus UN "hanya" ada tiga orang siswa, yakni masing-masing satu siswa dari kelompok SMA, SMK, serta MA.

Meskipun begitu, diakui Marjadji hasil UN tingkat SLTA sederajat itu belum sepenuhnya tuntas. Hal ini dikarenakan masih ada lima siswa yang nilai UN-nya belum muncul.

Kelima siswa yang saat ini masih menunggu hasil koreksi lanjutan yang dilakukan jajaran Dinas Pendidikan Provinsi Jatim "Kami sedang mengurusnya ke Surabaya," ujarnya memastikan.

Meski belum mengetahui hasil akhir nilai UN kelima siswa tersebut, Marjadji tetap optimistis mereka lulus semua. Ia berdalih, belum munculnya hasil UN kelima siswa tersebut lebih dikarenakan adanya kesalahan pada sistem pemindai lembara jawaban soal.

"Kebanyakan nilai (UN) yang belum muncul hanya satu atau dua mata pelajaran, lainnya sudah keluar dengan hasil cukup bagus. Jadi kami tetap optimistis mereka lulus," tandasnya yakin.

Pengumuman Keluluasan SMA/SMK dan MA di Tulungagung tahun ini secara umum sangat kondusif. Hanya ada beberapa siswa yang mendatangi sekolah untuk melihat papan pengumuman.

Bahkan di SMA Negeri 1 Kauman Tulungagung, pada hari pengumuman kelulusan, tidak satupun murid yang hadir di sekolah. Hal ini karena sekolah tersebut dalam mengumumkan kelulusan mengunakan sistem kurir, yaitu melakukan pengumuman kelulusan melalui kurir ke rumah siswa yang tidak lulus hingga batas waktu tertentu.

Pasca pengumuman hasil UN memang sempat muncul arak-arakan siswa mengenakan seragam sekolah. Namun polisi telah mengantisipasinya sehingga ketertiban lalu-lintas bisa dikendalikan.

Sebanyak 15 pelajar bahkan sempat ditilang karena tidak mengenakan helem pengaman ataupun karena dianggap mengganggu arus lalu-lintas di jalan raya Kota Tulungagung.

Sementara itu, hasil nilai ujian nasional (NUN) tingkat SMA tahun ini kembali ajang
"persaingan" antardua sekolah bergengsi di Kota Marmer, yakni antara SMA Negeri 1 Boyolangu (SMABoy) dan SMA Negeri 1 Kedungwaru (Smariduta).

Hasil rekapitulasi dinas pendidikan setempat, untuk nilai rata-rata tertinggi jurusan IPA diraih SMA Negeri 1 Kedungwaru dengan NUN rata-rata 57,00.

Sedangkan untuk nilai rata-rata tertinggi jurusan IPS diraih SMA Negeri 1 Boyolangu dengan NUN rata-rata 54,00. "Khusus untuk hasil NUN tertinggi perorangan paling banyak diraih SMABoy baik untuk jurusan IPA maupun IPS," paparnya menjelaskan hasil UN se-Tulungagung.

Sumber: antarajatim.com

Surabaya, Tulungagung Sabet Adipura Kencana 2012

JAKARTA: Kota Surabaya dan Tulungagung raih penghargaan Adipura Kencana 2012 yang diserahkan bertepatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2012 oleh Kementerian Lingkungan Hidup di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, Selasa (5/6).

“Adipura Kencana diberikan pada kota pemenang adipura tahun sebelumnya yang pada tahun ini mampu meningkatkan nilai mereka dari yang sebelumnya,”jelas Deputi IV Bidang Penglolaan Bahan Berbahaya dan Beracun KLH, Masnellyarti.

Pada acara sama dilangsungkan pula memberikan penghargaan Adipura, Kalpataru, Status Lingkungan Hidup Daerah Terbaik dan Adiwiyata. Sebanyak 125 kota dianugerahi Anugerah Adipura.

Selain itu, Kota Bekasi dan Kota Bandar Lampung diumumkan sebagai kota terkotor di Indonesia. “Pengumuman kota terkotor akan memicu kota tersebut untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Seperti Palembang dan Tengerang yang tahun ini mendapat Anugerah Adipura," ujar Meneg LH Balthasar Kambuaya.

Adapun penghargaan Kalpataru tahun ini diberikan pada 12 orang pejuang lingkungan dan Adiwiyata Mandiri pada 67 sekolah di seluruh Indonesia. “Penghargaan Adiwiyata bekerjasama dengan dengan Kemendikbud," ucap Sudirman, Asisten Deputi IV KLH sekaligus Ketua Pelaksanan Penilaian Adiwiyata.

Selain itu, untuk mendorong motivasi pemda dalam menyusun Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD), KLH juga menobatkan provinsi dan kota/kabupaten sebagai penyusun SLHD terbaik. DKI Jakarta, Sumatra Barat dan Jawa Timur merupakan penyusun SLHD terbaik kategori provinsi. Kota Padang, Kabupaten Padang, dan Kabupaten Majene merupakan penyusun SLHD terbaik untuk kategori kota/kabupaten.

Dihubungi di hari yang sama, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Abetnego Tarigan berpendapat penghargaan Kalpataru sangat positif untuk memotivasi masyarakat melindungi lingkungannya. Hanya saja, pemerintah harus lebih memperhatikan mereka ke depannya, bukan hanya sekadar memerikan penghargaan."Maksudnya, apa yang dilakukan pemerintah untuk mendukung pejuang lingkungan tersebut ke depannya," jelasnya. (*/OL-2) 


Sumber: mediaindonesia.com

Kelulusan Siswa SMP Tulungagung Tertinggi se-Jatim (2012)

Tingkat kelulusan siswa SMP/MTs di Kabupaten Tulungagung mencapai 99,99 persen tercatat paling tinggi dibanding 38 kabupaten/kota lain di Jawa Timur.

"Angka ketidaklulusan SMP/MTs di Tulungagung untuk tahun ajaran 2011/2012 ini hanya 0,01 persen. Ada dua siswa dari total 15.069 siswa didik tingkat SMP/MTs di sini yang dinyatakan tidak lulus karena nilai akhirnya (gabungan nilai sekolah dan nilai UN) tidak mencapai batas minimal yang ditentukan," kata Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tulungagung Marjadji, Jumat (1/6/2012).

Dua siswa yang tidak lulus tersebut masing-masing berasal dari SMPN 2 Ngantru dan SMPN 5 Tulungagung. Kedua pelajar SMP negeri tersebut harus mengulang mata pelajaran kelas IX di sekolah masing-masing karena hasil ujian nasional (UN) untuk mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) jeblok hingga di bawah ambang batas minimal nilai 4,00.

"Berdasar evaluasi kami, hanya satu mata pelajaran IPA yang jeblok tapi itu mempengaruhi hasil UN maupun perhitungan nilai akhir (NA) secara keseluruhan sehingga dinyatakan tidak lulus," terangnya.

Namun, secara keseluruhan Marjadji mengaku bangga dengan hasil UN SMP/MTs di daerah tugasnya sebab angka ketidaklulusan di Kabupaten Tulungagung merupakan yang paling rendah dibanding daerah-daerah lain di Jatim.

Ia lalu menunjukkan angka ketidaklulusan siswa SMP/MTs di kabupaten/kota lain di sekitar Tulungagung. Di Kabupaten/Kota Blitar, misalnya , angka ketidaklulusan tercatat mencapai 49 siswa dan 28 siswa.

Sementara di Kabupaten Kediri ketidaklulusan tercatat sebanyak 21 siswa, Kota Kediri sebanyak 15 siswa, dan Kabupaten Trenggalek sebanyak 39 siswa.

Prestasi yang diraih siswa-siswi peserta UN tingkat SMP/MTs di Tulungagung tidak hanya dalam hal tingkat kelulusan, namun juga dalam beberapa kategori lain.

Rata-rata nilai akhir (NA) SMP/MTs se-kabupaten, misalnya, Marjadji menyebut bahwa Kabupaten Tulungagung menduduki peringkat empat se-Jatim, sementara untuk rata-rata UN tingkat sekolah diraih SMPN 2 Tulungagung yang menduduki peringkat enam se-Jatim (nilai rata-rata sekolah 37,66).

"Tiga siswa Tulungagung juga berhasil meraih prestasi individu dengan menempati sepuluh besar nilai UN terbaik se-Jatim," terang Marjadji.

Ketiga siswa peraih UN terbaik dimaksud masing-masing adalah Ulfiana Ida Atika dari SMPN 1 Kauman dengan nilai 39,60 (terbaik kedua se-Jatim bersama tiga siswa lain di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik), Intan Agustina Kurniawati dari SMPN 1 Bandung dengan nilai 39,55 (terbaik ketiga), serta Wieka Agustin Pratesya dari SMPN 2 Tulungagung dengan nilai 39,40 (terbaik kelima se-Jatim).

sumber:surabaya.tribunnews.com

UN SD Tulungagung, Malang, dan Mojokerto Tertinggi (2012)


Sekolah peraih total nilai tertinggi UN SD dicapai sekolah asal Kabupaten Tulungagung dan siswa SD peraih nilai UN SD tertinggi diraih asal Malang. Sedangkan, kabupaten/kota yang meraih total nilai tertinggi adalah Kota Mojokerto.

Data dari Dinas Pendidikan Provinsi Jatim, jumlah sekolah penyelenggara UN tingkat SD, madrasah ibtidaiyah (MI) dan sekolah dasar luar biasa (SDLB) di Jatim sebanyak 26.067 sekolah terdiri dari 19.326 SD, 6.636 MI dan 105 SDLB. Sedangkan, peserta UN sebanyak 640.276 siswa terdiri dari 511.917 siswa SD, 128.092 siswa MI dan 267 siswa SDLB.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jatim Harun, Kamis (14/6/2012) mengatakan, kelulusan siswa SD bukan hanya ditentukan dari nilai UN. "Kriteria kelulusan siswa juga ditentukan oleh sekolah atau madrasah penyelenggara. Jadi tidak hanya ditentukan oleh nilai UN," katanya.

Harun menambahkan, pengumuman kelulusan setingkat SD, MI maupun SDLB akan disampaikan serentak pada Sabtu (16/6/2012). "Mekanisme penyampaian pengumuman kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing sekolah atau madrasah," jelasnya

Untuk kabupaten atau kota peraih total nilai UN tertinggi, peringkat pertama diraih Kota Mojokerto dengan jumlah peserta 2.232 dan nilai mata ujian Bahasa Indonesia 8,49, Matematika 8,50 dan IPA 8,94, total 25,93. Peringkat kedua diraih Kabupaten Sidoarjo dengan jumlah peserta 26.612 dan nilai mata ujian Bahasa Indonesia 8,41, Matematika 8,49 dan IPA 8,88, total 25,78.

Sedangkan peringkat ketiga diraih Kabupaten Mojokerto. Untuk kabupaten dan kota peraih total nilai tertinggi UN MI, peringkat pertama diraih Kabupaten Sidoarjo dengan jumlah peserta 6,793 dan nilai mata ujian Bahasa Indonesia 8,47, Matematika 8,39, IPA 8,91,
total 25,77.

Peringkat kedua diraih Kota Madiun dengan jumlah peserta 549 dan nilai mata ujian Bahasa Indonesia 8,57, Matematika 7,98, IPA 8,83, total 25,38. Peringkat ketiga diraih Kabupaten Mojokerto.

Sementara itu, sekolah peraih total nilai tertinggi UN SD, peringkat pertama diraih SDN 1 Wajak Kidul Kabupaten Tulungagung, dengan mata ujian Bahasa Indonesia 9,53; Matematika 9,69 dan IPA 9,95, total 29,17. Peringkat kedua diraih SDN Geluran Ploso Kabupaten Gresik dengan mata ujian Bahasa Indonesia 9,38; Matematika 9,74 dan IPA 9,96, total 29,08. Dan peringkat ketiga diraih SDN Tawangrejo II Kabupaten Lamongan.

Dan lagi-lagi, tak ada satu pun sekolah SD di Surabaya yang berhasil masuk peringkat 10 besar nilai tertinggi. Sedangkan MI peraih total nilai tertinggi, peringkat pertama diraih MI Nainul Ulum Kabupaten Mojokerto, dengan mata ujian Bahasa Indonesia 9,77, Matematika 9,43, IPA 9,98 dengan total 29,18.

Peringkat kedua diraih MI Negeri Mlarik Geneng Kabupaten Ngawi dengan nilai mata ujian Bahasa Indonesia 9,55, Matematika 9,42, IPA 9,73 dan total 28,70. Peringkat ketiga diraih MI NU Durung Bedug, Kabupaten Sidoarjo.

Untuk siswa peraih nilai UN tertinggi disabet oleh 5 siswa yang mempunyai nilai sama tertinggi asal Kota Malang, Kabupaten Gresik dan Kabupaten Jember. Yakni M Daffan Reynarah Apriyanto asal SDN Klojen Kota Malang, Dhiyah Alya Salsabila asal SDN Kedanyang Kabupaten Gresik, Yolanda Rifah Elvina, Zulqornain Raka Patria, Yuska Azmi. Ketiganya sama dari SDN Karangrejo 02 Kabupaten Jember. Kelima siswa tersebut sama-sama mempunyai nilai Bahasa Indonesia 10, Matematika 9,75 dan IPA 10.

Sedangkan 12 siswa MI mempunyai nilai sama tertinggi yakni Diyanah Hanin Sabiila, Fatimah Mas'ud dari MI Malik Ibrahim Putri Kabupaten Gresik. Rya Ade Gunawan dari MI Ma'arif Pagerwojo Kabupaten Sidoarjo. Efrida Dwi Rochmada, Gilang Firdaus Pratama, Hanif Azhar, M Aditya Syahrul Maghfiroh, M Agus Miftah, M Ali Lutfan.

Keenam siswa itu berasal dari MI NU Durung Bedug Kabupaten Sidoarjo. Hana Firdausil Husni dari MI Pembangunan Sidomukti Lamongan.

Aula Khoirun Nisa dari MIN Mojorejo Kabupaten Blitar dan M Anjar Farnawi dari MI Miftahul Huda, Karangsono Kabupaten Tulungagung. Para siswa siswi MI ini mempunyai nilai mata ujian Bahasa Indonesia 9,80, Matematika 9,75, dan IPA 9,55.


sumber:m.inilah.com

Saturday, June 2, 2012

Misteri dan Keajaiban Angkal 0 (Nol)


Ternyata angka atau bilangan dengan menggunakan bahasa Indonesia memiliki struktur atau pola yang unik dan mungkin tidak akan ditemukan di bangsa lain. Hanya di Indonesia.

Setiap bangsa, negara dan daerah pasti memiliki penyebutan sendiri untuk angka-angka dari satu, dua sampai dengan sepuluh. Misalnya angka tiga kita menyebutnya di Indonesia tapi di negara lain ada yang menyebutnya tri, three, san, tolu dan lain sebagainya.

Bahkan bila ada yang masih ingat angka-angka tersebut dalam bahasa daerah teman-teman masing-masing dari satu sampai sepuluh maka kadang ada angka yang penyebutannya sama dan ada pula yang berbeda dengan Bahasa Indonesia. Mungkin tergantung dari enaknya di lidah atau di telinga.

Langsung saja. Di sini saya bukan mengajarkan Anda berhitung tapi coba perhatikan deretan angka-angka di bawah ini.

1 = Satu
2 = Dua
3 = Tiga
4 = Empat
5 = Lima
6 = Enam
7 = Tujuh
8 = Delapan
9 = Sembilan


Ternyata setiap bilangan mempunyai saudara ditandai dengan huruf awal yang sama. Bila kedua saudara ini dijumlahkan angkanya, maka hasilnya pasti sepuluh. Contohnya Satu dan Sembilan. Mempunyai huruf awal yaitu S dan bila djiumlahkan satu dan sembilan hasilnya adalah sepuluh.

Begitu juga dengan Dua dan Delapan, Tiga dan Tujuh kemudian Empat dan Enam. Terurut sampai dengan angka Lima. Lima dijumlah dengan dirinya sendiri juga hasilnya sepuluh.

Tidak sampai di situ, ternyata huruf awalnya juga punya peranan penting terbentuknya bilangan itu. Misalnya Satu dan Sembilan sama-sama huruf awalnya adalah S yang secara kebetulan berada pada urutan 19 dalam alpabet. Bila angka satu dan sembilan dijumlahkan kemudian dibagi dua untuk mencari rata-ratanya maka hasilnya adalah 5. Bentuk angka 5 sangat identik dengan huruf S. Yang pernah membaca Matematika Alam Semesta, perlu ditambahkan bahwa 19 adalah angka TUHAN.

Kemudian Dua dan Delapan. Huruf awalnya adalah D yang urutan keempat. Bila delapan dibagi dua maka hasilnya adalah empat (pembenaran).

Selanjutnya Empat dan Enam. Huruf awalnya adalah E yang urutan kelima. Lima berada diantara Empat dan Enam (pembenaran lagi).

Sedangkan angka Lima huruf awalnya adalah L. Dimana L digunakan untuk simbol angka lima puluh dalam perhitungan Romawi (pembenaran yang masih nyambung).

Lalu bagaimana dengan Tiga dan Tujuh? Ternyata susah cari pembenarannya. Ditambah, dikurang, dibagi dan dikali ternyata belum juga ketemu. Tiga dikali tujuh hasilnya 21, kurang satu angka dengan huruf T yang urutan ke 20. Tapi simbol V digunakan untuk menunjukkan angka tujuh dalam perhitungan Arabic. Dan V diurutan ke-22.

Ternyata, tidak pakai matematika. Cukup ditulis saja di kertas kosong kemudian pasti bisa ketemu hubungannya. Coba tulis huruf T kecil (t) di sebuah kertas. Kemudian putar kertasnya 180 derajat maka kamu bisa lihat angka tujuh dengan jelas. Lalu bagaimana dengan angka tiga? Juga sama. Tulis huruf T besar di kertas pakai font Times New Roman kemudian putar 90 derajat ke kanan searah jarum jam. Tada…. Kamu pasti bisa lihat angka tiga dengan jelas. Tapi sedikit mancung. (pembenaran yang juga dipaksakan sekali).

Pola unik ini mungkin hanya bisa ditemukan di Indonesia. Lalu bagaimana dengan di Malaysia yang juga memakai bahasa yang sama? Ternyata di Malaysia angka 8 tidak disebut sebagai Delapan tapi Lapan. Jadi pola ini hanya milik Indonesia. Jangan sampai diklaim juga sama mereka.

by:fikrin
Sumber:forumsains.com

Keajaiban Angka Kita 1-10


Ternyata angka atau bilangan dengan menggunakan bahasa Indonesia memiliki struktur atau pola yang unik dan mungkin tidak akan ditemukan di bangsa lain. Hanya di Indonesia.

Setiap bangsa, negara dan daerah pasti memiliki penyebutan sendiri untuk angka-angka dari satu, dua sampai dengan sepuluh. Misalnya angka tiga kita menyebutnya di Indonesia tapi di negara lain ada yang menyebutnya tri, three, san, tolu dan lain sebagainya.

Bahkan bila ada yang masih ingat angka-angka tersebut dalam bahasa daerah teman-teman masing-masing dari satu sampai sepuluh maka kadang ada angka yang penyebutannya sama dan ada pula yang berbeda dengan Bahasa Indonesia. Mungkin tergantung dari enaknya di lidah atau di telinga.

Langsung saja. Di sini saya bukan mengajarkan Anda berhitung tapi coba perhatikan deretan angka-angka di bawah ini.

1 = Satu
2 = Dua
3 = Tiga
4 = Empat
5 = Lima
6 = Enam
7 = Tujuh
8 = Delapan
9 = Sembilan


Ternyata setiap bilangan mempunyai saudara ditandai dengan huruf awal yang sama. Bila kedua saudara ini dijumlahkan angkanya, maka hasilnya pasti sepuluh. Contohnya Satu dan Sembilan. Mempunyai huruf awal yaitu S dan bila djiumlahkan satu dan sembilan hasilnya adalah sepuluh.

Begitu juga dengan Dua dan Delapan, Tiga dan Tujuh kemudian Empat dan Enam. Terurut sampai dengan angka Lima. Lima dijumlah dengan dirinya sendiri juga hasilnya sepuluh.

Tidak sampai di situ, ternyata huruf awalnya juga punya peranan penting terbentuknya bilangan itu. Misalnya Satu dan Sembilan sama-sama huruf awalnya adalah S yang secara kebetulan berada pada urutan 19 dalam alpabet. Bila angka satu dan sembilan dijumlahkan kemudian dibagi dua untuk mencari rata-ratanya maka hasilnya adalah 5. Bentuk angka 5 sangat identik dengan huruf S. Yang pernah membaca Matematika Alam Semesta, perlu ditambahkan bahwa 19 adalah angka TUHAN.

Kemudian Dua dan Delapan. Huruf awalnya adalah D yang urutan keempat. Bila delapan dibagi dua maka hasilnya adalah empat (pembenaran).

Selanjutnya Empat dan Enam. Huruf awalnya adalah E yang urutan kelima. Lima berada diantara Empat dan Enam (pembenaran lagi).

Sedangkan angka Lima huruf awalnya adalah L. Dimana L digunakan untuk simbol angka lima puluh dalam perhitungan Romawi (pembenaran yang masih nyambung).

Lalu bagaimana dengan Tiga dan Tujuh? Ternyata susah cari pembenarannya. Ditambah, dikurang, dibagi dan dikali ternyata belum juga ketemu. Tiga dikali tujuh hasilnya 21, kurang satu angka dengan huruf T yang urutan ke 20. Tapi simbol V digunakan untuk menunjukkan angka tujuh dalam perhitungan Arabic. Dan V diurutan ke-22.

Ternyata, tidak pakai matematika. Cukup ditulis saja di kertas kosong kemudian pasti bisa ketemu hubungannya. Coba tulis huruf T kecil (t) di sebuah kertas. Kemudian putar kertasnya 180 derajat maka kamu bisa lihat angka tujuh dengan jelas. Lalu bagaimana dengan angka tiga? Juga sama. Tulis huruf T besar di kertas pakai font Times New Roman kemudian putar 90 derajat ke kanan searah jarum jam. Tada…. Kamu pasti bisa lihat angka tiga dengan jelas. Tapi sedikit mancung. (pembenaran yang juga dipaksakan sekali).

Pola unik ini mungkin hanya bisa ditemukan di Indonesia. Lalu bagaimana dengan di Malaysia yang juga memakai bahasa yang sama? Ternyata di Malaysia angka 8 tidak disebut sebagai Delapan tapi Lapan. Jadi pola ini hanya milik Indonesia. Jangan sampai diklaim juga sama mereka.

by:fikrin
Sumber:forumsains.com

Biografi Fibonacci


225px Fibonacci 120x120 Tahukah Anda Siapa Fibonacci ?Tahukah anda siapakah Leonardo Fibonacci? Dia adalah salah seorang ahli matematika terkemuka dunia pada eranya disebabkan penemuan beliau yang amat penting yaitu rahasia angka  Fibonacci yang juga dikenali sebagai “The Golden Ratio”. Leonardo Fibonacci dilahirkan di Pisa, Itali sekitar tahun 1175. Beliau dilahirkan dalam keluarga Guilielmo Bonacci, seorang pengusaha sukses terkenal Republik Pisa.  Guilielmo menginginkan putranya kelak menggantikan kedudukannyanya sekaligus menjadi seorang ilmuan pada zamannya oleh karena itu dia telah membuat persiapan-persiapan  untuk Leonardo dengan belajar teknik perhitungan terutama yang melibatkan system angka Hindu-Arab yang pada masa tersebut belum dikenal di Eropa. Fibonacci mampu bergerak bebas ke seluruh Kerajaan Byzantine karena beliau putra dari seorang pengusaha terkemuka dan mempunyai kedudukan tinggi.
Menurut sejarawan Leonardo Fibonacci sangat tertarik dengan 9 symbol sistem nombor Hindu-Arab kemudian dia menekuni ilmu tersebut dan berhasil menguasainyai. Pada abad ke 12 Leonardo kembali ke Pisa dan mulai memberikan sumbangan pada perkembangan ilmu matematika sehingga mendapat gelar kehormatan  sebagai ahli matematik unggul zaman pertengahan.  Leonardo memperkenalkan sistem angka Hindu-Arab kepada masyarakat Eropa. Diantara tulisan beliau adalah “Liber Abaci” yang menunjukkan penguasaan beliau terhadap sistem angka  Hindu-Arab dan juga pemahaman beliau tentang sistem persepuluhan. Dari karyanya  yang  lain para sejarawan  matematika telah menemukan  teori persamaan kuadrat  serta teori algebra lain.
Diperkenalkan dalam seisen ketiga dari bukunya yaitu “Liber Abaci”, didalam bukunya beliau mengangkat sebuah permasalahan sebagai berikut :
“seorang laki-laki memelihara sepasang kelinci pada sebuah kandang  yang dipagar  tembok. Pertanyannya :  berapa pasang kelinci yang didapati  dalam setahun jika tiap bulannya sepasang kelinci itu mampu menghasilkan sepasang kelinci yang dimulai pada bulan kedua ?”
Deret Angka Fibonacci
Dari permasalahan diatas Leonardo Fibonacci mampu unutk menggambarkan perhitungan populasi kelinci tersebut dan dia telah menemukan deret angka yang menghantarkan dia  mengenalkan definisi :  “The Golden Ratio” atau Angka Ratio Emas . Permulaan deret angka Fibonacci dijelaskan sebagaiberikut :
10 + 1 = 1, 1 + 1 = 2, 1 + 2 = 3, 2 + 3 = 5, 3 + 5 = 8, 5 + 8 = 13, 8 + 13 = 21, 13 + 21 = 34, 21 + 34 = 55, …dst
Deret angka Fibonacci ini menunjukkan asal mula kejadian alam semesta dan juga menjadi inpirasi para seniman didalam mewujudkan cipta seni mereka termasuk Leonardo Da Vinci didalam karya lukisannya yang mendunia yaitu Mona Lisa. Selain itu rahasia angka Fibonacci ini juga diaplikasikan secara luas dalam seni kontruksi bangunan, lukisan dan juga wujud dalam anatomi tubuh manusia. Jika anda ingin mengetahui dengan lebih lanjut tentang rahasia angka

Thursday, May 31, 2012

Teori Belajar Behavioristik


Konsep  / Pandangan  terhadap pembelajaran.
Teori behavioristik adalah teori beraliran behaviorisme yang merupakan salah satu aliran psikologi. Teori ini memandang indifidu hanya dari sisi fenomena jasmaniyah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Sehingga dengan kata lain behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata hanya untuk melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa teori behavioristik memandang bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku, yang bisa di amati, di ukur dan di nilai secara konkrit, karena adanya interaksi antara stimulus dan respon. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulus) yang menimbulkan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulus tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respon adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan S-R.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masuk atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi antara stimulus dan respon dianggap tidak penting untuk diperhatikan karena tidak bisa diamati. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya.[2] Misalnya; siswa belum dapat dikatakan berhasil dalam belajar Ilmu Pengetahuan Sosial jika dia belum bisa/tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti; kerja bakti, ronda dll.
Tokoh-tokoh dan pemikiranya.
a. Thorndike : koneksionisme.
Thorndike adalah seorang pendidik dan sekaligus psikolog berkebangsaan Amerika. Menurutnya, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi (koneksi) antara peristiwa yang disebut dengan Stimulus (S) dengan Respon (R). Stimulus adalah perubahan dari lingkungan exsternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi/berbuat. Sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.
Dari percobaannya yang terkenal (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respon, perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trial) dan kegagalan-kegagalan (Error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “Trial and Error learning atau selecting and conecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh thorndike ini sering disebut teori belajar koneksionisme atau asosiasi. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan kegiatan membentuk asosiasi (conection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak.
Dari exsperimen puzzle box-nya thorndike menemukan tiga hukum belajar  yaitu; Hukum kesiapan (Law of readiness) dimana semakin siap suatu organisme memperoleh perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Hukum Latihan (Law of excercise) yaitu semakin sering tingkah laku di ulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Yang terakhir adalah hukum akibat (law of effect) yaitu hubungan stimulus respon akan cenderung di perkuat bila akibatnya menyenangkan dan sebaliknya cenderung melemah jika akibatnya tidak memuaskan.
b. Watson : Conditioning
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat di amati (observable) dan dapat di ukur. Jadi meskipun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu di perhitungkan karena tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behaviorist murni, karena kajianya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. Hanya dengan asumsi seperti itulah – menurut watson -  kita dapat meramalkan perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa.
c. Guthrie : Conditioning.
Azas belajar guthrie yang utama adalah hukum kontinguity. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan hanya sekedar melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Teori guthrie ini mengatakan bahwa hubungan stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karenanya dalam kegiatan belajar, peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stumulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa  hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
d. Skinner : Operant conditioning
Skinner adalah seorang yang berkebangsaan Amerika yang dikenal sebagai seorang tokoh behavioris yang meyakini bahwa perilaku individu dikontrol melalui proses operant conditioning dimana seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif besar.
Menagement kelas menurut skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Menurut skinner – berdasarkan percobaanya terhadap tikus dan burung merpati – unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah penguatan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respond akan semakin kuat bila diberi penguatan ( penguatan positif dan penguatan negatif). Bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Sedangkan bentuk penguatan negatif adalah antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan, atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Skinner tidak percaya pada asumsi yang dikemukakan guthrie bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses pelajar. Hal tersebut dikarenakan –menurut skinner- (1) pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara, (2) dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama, (3) hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman, (4) hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk dari pada kesalahan pertama yang diperbuatnya. Skinner lebih percaya dengan apa yang disebut penguatan baik negatif maupun positif.
e. Pavlov : Classic Conditioning
Dalam pemikiranya Pavlov berasumsi bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diinginkan. Berangkat dari asumsi tersebut Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihanya secara hakiki, manusia berbeda dengan binatang.
Pavlov mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga keluar kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluar air liur anjing tersebut. Kemudian dalam percobaan berikutya sebelum  makanan diperlihatkan, diperlihatkanlah sinar merah terlebih dahulu, kemudian baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan demikian di lakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedangkan merah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Dari eksperimen tersebut, setelah pengkondisian atau pembiasaan, dapat di ketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami dapat di gantikan oleh sinar merah sebagai stimulus yang dikondisikan (conditioned stimulus)[3]. Ketika sinar merah di nyalakan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon-nya. Pavlov berpendapat bahwa kelenjar-kelenjar yang lainpun dapat dilatih sebagaimana tersebut.
Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang sama pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es creem Walls yang berkeliking dari rumah kerumah. Awalnya mingkin suara itu asing, tetapi setelah si penjual es creem sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur. Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran yaitu -  karena memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak berubah – pengetahuan disusun dengan rapi sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowladge) kepada orang yang belajar. Fungsi pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berfikir yang dapat dianalisis dan dipilih, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berfikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pembelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus di pahami oleh pebelajar (siswa).
PENUTUP.
Demikianlah beberapa pandangan tentang teori behavioristik, dari pemaparan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa dalam teori behavioristik faktor lingkungan sangat penting perananya dalam proses pembelajaran, disamping itu teori ini juga mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon.
Sebagai konsekuensi dari teori ini adalah para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang komplex. Sekian……….!!
DAFTAR PUSTAKA
Hill, F., Winfred, Theories of learning (diterjemahkan oleh M.khozin dari karya aslinya, Learning:A survey of Psycological Interpretations, Harper Collins Publisher, 1990), Bandung:Nusa Dua, 2009.
Budiningsih, C., Asri , Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Rineka Cipta,  2005.
Hall S. Calvin & Lindzey, Gardner, Psikology kebribadian 3, Teori-Teori sifat dan behavioristik(diterjemahkan dari bukuTheories of personality, New york, Santa barbara Toronto, 1978) , yogyakarta: Kanisius 1993.

[1] Hill, F., Winfred, Theories of learning (diterjemahkan oleh M.khozin dari karya aslinya, Learning:A survey of Psycological Interpretations, Harper Collins Publisher, 1990), Bandung:Nusa Dua, 2009 Hal. 28.
[2] Budiningsih, C., Asri , Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Rineka Cipta,  2005 hal 20
[3] Hall S. Calvin & Lindzey, Gardner, Psikology kebribadian 3, Teori-Teori sifat dan behavioristik(diterjemahkan dari bukuTheories of personality, New york, Santa barbara Toronto, 1978) , yogyakarta: Kanisius 1993, hal
Sumber:fisika79.wordpress.com

Teori Belajar Konstruktivisme


TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
Pada bagian ini dikaji tentang pandangan konstruktivistik terhadap proses belajar dan aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran. Pembahasan diarahkan pada hal-hal seperti, karakteristik manusia masa depan yang diharapkan, konstruksi pengetahuan, dan proses belajar menurut teori konstruktivistis. Kajian diakhiri dengan memaparkan perbandingan pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran konstruktivistik.


  1. 1.    Karakteristik  Manusia Masa Depan yang Diharapkan
Upaya membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki tersebut adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses … (to) learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).

Kepekaan, bearti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun kemudah tersentuhan hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan Sang Pencipta. Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berfikir sendiri di samping proses dan hasil berfikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu. Tanggung jawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi, bearti disamping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri, individu dengan ciri-ciri diatas juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama.

Langkah strategis bagi perwujudan tujuan diatas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active learning atau pendekatan cara belajar siswa aktif didalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui sentralitas peranan siswa didalam proses belajar, adalah landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan. Pilihan tersebut bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empirik disamping pilihan masyarakat (Raka Joni, 1990)

Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik diatas. Kajian terhadap teori belajar konstruktivistik dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju kepada tujuan tersebut.

  1. 2.    Konstruksi Pengetahuan
Untuk memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Demikian juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian ini akan dibahas teori belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman tentang apa pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan antara pengetahuan, realitas, dan kebenaran.

Apa pengetahuan itu? Menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai kunstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransfer itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.

Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan inderanya. Melalui interaksinya dengan objek dan lingkungannya, misalnya dengan melihat, mendengar,menjamah, mambau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin banyak seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya, pengetahuan dan pemahamannya akan objek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci.

Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu;
1)    Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman
2)    Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan
3)    Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya.

Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.

  1. 3.    Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melaui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Ada beberapa pandangan dari segi konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.

Proses belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamanya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing and restructuring of  knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual consistency…..”. pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun diluar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.

Peranan Siswa (Si-Belajar). Menurut pandangan konstrktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.

Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.

Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru hanya membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belaajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.

Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
1)    Menumbuhkan kemandiriran dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2)    Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3)    Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.

Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.

Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar merupakan asimilasi objek-objek nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional adalah menginterpretasikan kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada para siswanya.

Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.

Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi kedalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya?

Evaluasinya belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar. Sedangkan pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.

Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih cepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.

Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.

  1. 4.    Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behavioristik) dan Pembelajaran Konstruktivistik
Proses pembelajaran akan efektif jika diketahui inti belajar yang sesungguhnya.Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks. Diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru, atau sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi diantara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.

Berbeda dengan bentuk pembelajaran diatas, pembelajaran konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa yang dapat diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.

Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut:
No.
Pembelajaran tradisional
Pembelajaran konstruktivistik
1.
Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar.Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
2.
Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan.Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
3.
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja.Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
4.
Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswaSiswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
5.
Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing.Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
6.
Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group proses dalam belajarSiswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group proses.

Karakteristik pembelajaran yang harus dilakukan adalah:
1     Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah diterapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
2     Menempatkan siswa sebaagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
3     Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, dimana terdapat macam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
4     Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar di pahami, tidak teratur, dan tidak mudah di kelola.
Kelebihan
-          Kelebihan dalam proses pembelajaran konstruktivistik siswa dituntut untuk bisa berfikir aktif dalam belajar
-          Kelebihan konstruktivistik dalam pembelajaran bisa adanya group
-          Pembelajaran terjadi lebih kepada ide-ide dari siswa itu sendiri
Kekurangannya
-          Kekurangan apabila ada siswa yang pasif pembelajaran konstruktivistik ini tidak cocok untuk siswa pasif
-          Siswa belajar secara konsep dasar tidak pada ketrampilan dari siswa itu sendiri
-          Dalam pembelajarannya tidak memusatkan pada kurikulum yang ada

Sumber bacaan
Brooks, J.G, & Brooks, M., (1993). The case for constructivist classrooms.
Association for supervision and curriculum development. Alexandria Virginia
Degeng N.S, (1997). Pandangan Behavioristik vs Konstruktivistik: Pemecahan Masalah
Belajar Abad XXI. Malang: Makalah Seminar TEP.
Duffy, T.M., & Jonassen, D.H., (1992). Constructivism and The Technology of Instruction: A
Conversation. Lawrence Erbaum Associates, Publishers Hillsdale, New Jersey.
Jonanssen, D.H., (1990). Objectivism Versus Constructivism: Do We Need  New
Philosophical Paradigm? ERT & D, Vol. 29, No. 3, pp. 5-14.
Paul Suparno, (1996). Konstruktivisme dan Dampaknya terhadap Pendidikan. Kompas
Perkins, D.N., (1991). What Constructivism Demands of The Learner. Education
Technology. Vol. 33, No. 9, pp. 19-21
Raka Joni, T., (1990). Cara Belajar Siswa Aktif: CBSA: Artikulasi Konseptual, Jabaran Operasional, dan Verivikasi Empirik. Pusat Penelitian IKIP Malang.

Sumber:sajarwo87.wordpress.com